Ilustrasi by Google |
Konsep Ekodrainase
sebagai Pengganti Drainase Konvensional
Agus Maryono
SUNGGUH sangat merisaukan jika kita mengevaluasi konsep drainase
yang diterapkan di seluruh pelosok Tanah Air saat ini. Konsep yang dipakai
adalah konsep drainase konvensional, yaitu drainase “pengatusan kawasan”.
Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan
secepat-cepatnya ke sungai terdekat. Konsep ini sejak tahun 1970-an sampai
sekarang hampir tidak berubah dan terus diajarkan di seluruh perguruan tinggi
di Indonesia dan sebagai konsep dasar yang digunakan para praktisi dalam
pembuatan Masterplan Drainase di seluruh kota besar dan kecil di Indonesia.
DALAM konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh
ke di suatu wilayah harus secepat-cepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya
mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan
berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.
Dan ternyata, bahwa konsep drainase konvensional ini di
Indonesia tidak hanya dipakai untuk men-drain areal permukiman, namun digunakan
secara menyeluruh termasuk untuk men-drain kawasan pedesaan, lahan pertanian
dan perkebunan, kawasan olahraga, wisata, dan lain sebagainya.
Drainase konvensional untuk permukiman atau perkotaan dibuat
dengan cara membuat saluran-saluran lurus terpendek menuju sungai guna
mengatuskan kawasan tersebut secepatnya.
Seluruh air hujan diupayakan sesegera mungkin mengalir langsung
ke sungai terdekat. Pada areal pertanian dan perkebunan biasanya dibangun
saluran drainase air hujan menyusuri lembah memotong garis kontur dengan
kemiringan terjal. Pada saat hujan, saluran drainase ini berfungsi mengatuskan
kawasan pertanian dan perkebunan dan langsung dialirkan ke sungai.
Demikian juga di areal wisata dan olahraga, semua saluran
drainase didesain sedemikian rupa sehingga air mengalir secepatnya ke sungai
terdekat. Orang sama sekali tidak berpikir apa yang akan terjadi di bagian
hilir, jika semua air hujan dialirkan secepat-cepatnya ke sungai tanpa
diupayakan agar air mempunyai waktu cukup untuk meresap ke dalam tanah (lihat
Gambar A, kesalahan drainase konvensional).
Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut
dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga
banjir, longsor, dan pelumpuran.
Termasuk juga surutnya sungai-sungai di luar Jawa saat ini,
hingga menyebabkan transportasi sungai sangat selalu terganggu. Tentu saja ada
sebab-sebab selain drainase, misalnya, penggundulan hutan, namun kesalahan
konsep drainase yang kita pakai sekarang ini merupakan penyumbang bencana kekeringan,
banjir, dan longsor yang cukup signifikan.
Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah
filosofi membuang air genangan secepat-cepatnya ke sungai. Dengan demikian,
sungai-sungai akan menerima beban yang melampaui kapasitasnya, sehingga meluap
atau terjadi banjir, contoh, banjir-banjir di Jakarta, Semarang, Bandung, Riau,
Samarinda, dan lain-lain. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti
pengatusan kawasan atau menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam
tanah.
Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang, kekeringan
di musim kemarau akan terjadi. Dalam konteks inilah pemahaman bahwa banjir dan
kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah secara susul-menyusul
dapat dengan mudah dimengerti.
Sangat ironis bahwa semakin baik drainase konvensional di suatu
kawasan aliran sungai, maka kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau akan semakin intensif silih berganti.
Dampak selanjutnya adalah kerusakan ekosistem, perubahan iklim
mikro dan makro disertai tanah longsor di berbagai tempat yang disebabkan oleh
fluktuasi kandungan air tanah musim kering dan musim basah yang sangat tinggi.
JIKA kesalahan konsep dan implementasi drainase yang selama ini
kita lakukan ini tidak diadakan revisi, usaha apa pun yang kita lakukan untuk
menanggulangi banjir, kekeringan lahan, dan longsor, akan sia-sia.
Dalam tulisan ini akan diketengahkan konsep drainase baru yang
biasa disebut drainase ramah lingkungan atau ekodrainase yang sekarang ini
sedang menjadi konsep utama di dunia internasional dan merupakan implementasi
pemahaman baru konsep ekohidraulik dalam bidang drainase.
Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola
air kelebihan dengan cara sebesar-besarnya diresapkan ke dalam tanah secara
alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya.
Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim
hujan harus dikelola sedemikian sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai.
Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah
untuk cadangan pada musim kemarau. Konsep ini sifatnya mutlak di daerah
beriklim tropis dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrem seperti
di Indonesia.
Berikut ini diketengahkan beberapa metode drainase ramah
lingkungan yang dapat dipakai di Indonesia, di antaranya adalah metode kolam
konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode
pengembangan ereal perlindungan air tanah (ground water protection area).
Metode kolam konservasi (lihat Gambar B) dilakukan dengan
membuat kolam-kolam air, baik di perkotaan, permukiman, pertanian, atau
perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk menampung air hujan terlebih
dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai secara perlahan-lahan.
Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah
dengan topografi rendah, daerah-daerah bekas galian pasir atau galian material
lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian
tertentu.
Kolam konservasi juga sangat menguntungkan jika dikaitkan dengan
kebutuhan rekreasi masyarakat. Misalnya pada pembangunan real estat, pemerintah
dapat mewajibkan pengelola real estat untuk membangun kolam konservasi air
hujan di lokasi perumahan, sekaligus ditata sebagai areal rekreasi bagi
masyarakat perumahan.
Di samping itu, kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi
bak-bak permanen air hujan, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan
yang rendah. Kota-kota dan kawasan luar kota di Indonesia perlu segera
membangun kolam-kolam konservasi air hujan ini. Sangat disayangkan, bahwa
perkembangan yang ada di Indonesia sekarang ini justru masyarakat dan
pemerintah berlomba mempersempit atau bahkan menutup kolam konservasi alamiah
yang ada (rawa, situ, danau kecil, telaga, dan lain-lain). Banyak kolam-kolam
konservasi alamiah dalam sepuluh tahun terakhir ini hilang dan berubah fungsi
menjadi areal permukiman, contohnya di Jakarta, Bandung, dan lain-lain.
Untuk areal pertanian dan perkebunan sudah mendesak, untuk
segera direncanakan dan dibuat parit-parit (kolam) konservasi air hujan. Parit
ini sangat penting untuk cadangan air musim kemarau sekaligus meningkatkan
konservasi air hujan di daerah hulu, serta meningkatkan daya dukung ekologi
daerah setempat. Konstruksi parit cukup sederhana, berupa galian tanah
memanjang atau membujur di beberapa tempat tanpa pasangan. Pada parit tersebut
sekaligus bisa dijadikan tempat budidaya ikan dan lain-lain.
Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara
membuat sumur-sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan
atau kawasan tertentu (Dr Sunjoto, UGM). Sumur resapan ini juga dapat
dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan kedalaman sumur
resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu dicatat bahwa
sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus
mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah
tangganya ke sumur resapan tersebut.
METODE river side polder (lihat Gambar C) adalah metode menahan
aliran air dengan mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran
sungai. Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar
bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai.
Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang
dikembangkan mendekati kondisi alamiah, dalam arti bukan polder dengan
pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal.
Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan
keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan
konservasi air terjaga.
Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara
besar-besaran, sebagai upaya menahan air untuk konservasi sungai musim kemarau
dan menghindari banjir serta meningkatkan daya dukung ekologi wilayah keairan.
Metode ini dapat diusulkan untuk mengurangi banjir di kota-kota besar yang
terletak di hilir sungai seperti Kota Jakarta, Surabaya, Medan Samarinda, dan
lain-lain. Demikian juga dapat meningkatkan pasokan air sungai musim kemarau
untuk mendukung transportasi sungai atau pertanian.
Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara
menetapkan kawasan lindung untuk air tanah, di mana di kawasan tersebut tidak
boleh dibangun bangunan apa pun. Areal tersebut dikhususkan untuk meresapkan
air hujan ke dalam tanah.
Di berbagai kawasan perlu sesegara mungkin dicari tempat-tempat
yang cocok secara geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan
perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase
kawasan.
Konsep drainase ramah lingkungan atau ekodrainase ini perlu
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kesalahan pemahaman masyarakat,
dinas terkait, dan perguruan tinggi tentang filosofi konsep drainase, yaitu
membuang air secepat-cepatnya ke sungai, perlu segera direvisi dan diluruskan
secara serius. Perlu pembenahan dan revisi bangunan drainase permukiman, tempat
olahraga dan rekreasi, pertanian dan perkebunan dengan konsep drainase ramah
lingkungan. Tampaknya perlu studi khusus untuk menemukan kembali konsep
drainase ramah lingkungan.
Dr Ing Ir Agus Maryono, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan
Logistik UGM
Sumber:
Kompas, Jumat, 26 September 2003
Posting Komentar