Kekeringan dan banjir, secara bersamaan maupun terpisah, menjadi pandangan publik yang memilukan. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kekeringan berlangsung di berbagai tempat di Indonesia. Akibatnya, jutaan hektar areal pertanian di Jawa dan luar Jawa terancam gagal panen. Sementara masih sangat kental dalam ingatan, musim hujan selalu memaksa orang untuk tergopoh-gopoh karena datangnya banjir yang merendam berbagai kota.
Untuk mengkaji lebih mendalam kedua kejadian itu perlu dikemukakan faktor-faktor penyebab kekeringan dan banjir secara menyeluruh. Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan keseimbangan Daerah Aliran Sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan “saudara kembar” yang pemunculannya datang susul menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis dengan faktor penyebab banjir. Keduanya berperilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan yang terjadi, maka semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul, dan hal yang demikian berlaku sebaliknya.
Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir. Di antaranya adalah faktor iklim ekstrim (kemarau ekstrim dan hujan ekstrim), faktor penurunan daya dukung DAS termasuk di dalamnya faktor pola pembangunan sungai, faktor kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainasi dan faktor sosio-hidraulik (kesalahan perilaku masyarakat terhadap komponen hidrologi – hidraulik).
Iklim Ekstrim
Faktor iklim ekstrem, dapat menyebabkan kekeringan dan banjir yang tak terkendali. Misalnya kemarau panjang atau hujan badai ekstrem yang kesemuanya dipengaruhi oleh iklim makro global. Misal El Nino-La Nina yang bergerak antara kepulauan Indonesia dan Panama Chili. Juga Tifca, badai dahsyat dengan lama hujan masing-masing mencapai 24 jam dan 72 jam (3 hari) yang pernah terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Kondisi iklim ekstrem tidak bisa dielakkan dan dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Kondisi semacam ini bisa dikategorikan sebagai natural disaster (bencana alam) yang sulit diatasi. Masalahnya adalah, jika kondisi iklim ekstrem terjadi sementara daya dukung DAS sangat jelek, maka dampak kekeringan dan banjir yang terjadi akan semakin parah. Untuk mengantisipasi faktor ekstrem ini, perlu kerja sama global bersama negara-negara lain.
Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. DAS yang daya dukungnya rendah ditandai dengan perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan dengan koefisien aliran permukaan (koefisien run off) rendah (di mana sebagian besar air hujan diresapkan ke tanah) berubah menjadi tanah terbuka dengan koefisen run off tinggi (di mana sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan).
Rendahnya daya dukung DAS dapat diamati dengan semakin mengecilnya luas areal hutan, tidak terurusnya lahan pertanian, semakin luasnya lahan untuk hunian dan prasarana dan semakin banyaknya tanah terbuka atau tanah kritis.
Akibat hancurnya DAS, banjir akan terjadi di musim penghujan (terutama di daerah hilir dan tengah, seperti misalnya di Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan lain lain). Kemudian akan disusul dengan kekeringan pada musim kemarau berikutnya. Hal ini karena pada musih penghujan seluruh air dengan cepat mengalir ke hilir (karena run off tinggi), maka konservasi-simpanan air di hulu menjadi sangat berkurang. Akibatnya pada musim kemarau tidak ada lagi aliran air menuju ke hilir dan keringan terjadi.
Kekeringan biasanya ditandai dengan surut atau keringnya sungai-sungai kecil terlebih dulu, disusul sungai menengah dan kemudian sungai besar. Sebagai akibat misalnya transportasi air macet (banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan), debit bendung irigasi berkurang drastis hingga pertanian kolaps (banyak terjadi di Jawa), muka air tanah turun drastis sehingga sumur-sumur perlu didalamkan (banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta), mata air mati (seperti di daerah Gunung Kidul).
Masalah lain yang mengancam dari kekeringan adalah semakin banyaknya permukaan tanah terbuka dan berbutir lepas. Kondisi ini menyebabkan ancaman erosi dan banjir yang lebih hebat pada musim hujan berikutnya.
Daya dukung DAS untuk menanggulangi kekeringan dan sekaligus banjir, dapat ditingkatkan hanya dengan partisipasi masyarakat melalui program penghijauan yang menyeluruh dari hulu sampai ke hilir, baik di perkotaan maupun pedesaan, mengaktifkan reservoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
Memperbaiki daya dukung DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir.
Pembangunan sungai
Kekeringan dan banjir dapat disebabkan oleh pola pembangunan sungai dengan normalisasi, pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul sisi, pembetonan dinding tebing dan pengerasan tampang sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa.
Inti dari pola itu adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras ke hilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir. Pola ini juga tidak memperhatikan kekeringan yang pasti akan terjadi di musim kemarau, karena dengan pola ini seluruh air diusahakan dibuang ke laut secapat-cepatnya. Otomatis keseimbangan air terganggu, dan di musim kemarau tidak ada air yang mengalir dari daerah hulu lagi.
Tidak bisa dipungkiri, perencanaan wilayah dan implementasinya di seluruh Indonesia dewasa ini, belum memasukkan faktor konservasi sumberdaya air menjadi faktor dominan. Bahkan tiga dasawarsa yang lalu perencanaan regional hanya dipercayakan sepenuhnya kepada ahli-ahli perencanaan yang sedikit mengerti permasalahn persungaian, kekeringan, banjir dan ekologi.
Hasil dari akumulasi kesalahan tersebut salah satunya adalah pola sebaran pengembangan kawasan dan sarana yang sangat konstradiktif dengan upaya penanggulangan kekeringan, banjir dan konservasi air. Penyebaran pemukiman di sebagian besar kota-kota di Indonesia dan daerah peri-perinya mengikuti penyebaran merata pola horizontal (lihat Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, Samarinda, Pontianak dan lain lain).
Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, seluruh DAS telah berubah menjadi hunian yang tersebar merata. Akibatnya sangat buruk, karena ketika luas hunian mencapai sepertiga luas DAS, maka seluruh DAS pada dasarnya sudah rusak.
Perlu diketahui bahwa setiap bangunan (dengan tipe horozontal) memerlukan luasan tambahan untuk sarana prasarananya sekitar tiga kali lipat dari luas bangunan itu sendiri. Jika DAS rusak akibat hunian ini, maka kekeringan dan banjir otomatis akan datang silih berganti.
Pola penyebaran pemukiman dan pengembangan kawasan seperti di atas, perlu segera dikoreksi total kearah kota-region dan perkembangan kearah vertikal. Tentu saja pola ini akan menghadapi kendala sosial. Untuk itu wacana pola ini perlu sesegera mungkin dibuka ke masyarakat.
Selain itu, Konsep masterplan drainase kota dan kawasan di seluruh Indonesia yang digunakan sampai sekarang ini adalah konsep drainasi konvensional. Konsep ini mengartikan drainasi sebagai upaya mengatuskan air secepat-cepatnya ke sungai dan selanjutnya ke hilir. Bahkan drainasi konvensional sering diartikan sebagai upaya pengeringan kawasan.
Dengan konsep ini jelas akan menimbulkan banjir bagian hilir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Karena seluruh air yang seharusnya meresap ke tanah dan akan muncul sebagai mata air nantinya, dipaksakan secepatnya dibuang ke hilir. Kesalahan ini perlu diatasi dengan mengubah paradigma konsep drainase menuju konsep drainasi ramah lingkungan, yaitu upaya mengalirkan air kelebihan di suatu kawasan dengan jalan meresapkan air tersebut atau mengalirkan secara alamiah dan bertahap ke sungai.
Metode yang cocok misalnya dengan pembuatan embung dan kolam kecil untuk menampung air hujan di pemukiman-pemukiman, pembuatan sumur-sumur resapan alamiah. Prinsip konsep ini adalah menghindarkan mengalirnya air limpasan hujan secepatnya ke hilir.
Faktor sosio-hidraulik
Sosio-hidraulik diartikan sebagai kepahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan keairan dan konservasinya. Selama masyarakat baik di kota maupun di desa secara masal belum paham tentang keterkaitan daerah hulu dan hilir, keterkaitan banjir dan kekeringan, keterkaitan antara sampah-pendangkalan dan banjir, kerterkaitan antara pengambilan air tanah besar-besaran dengan kekeringan dan intrusi air laut, keterkaitan antara penebangan pohon/hutan dengan banjir dan kekeringan, keterkaitan antara ekosistem sungai dengan kekeringan dan banjir, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berbuat.
Dr Ing Agus Maryono, Dosen Fakultas Teknik UGM, peneliti sungai, banjir, dan lingkungan
Sumber: Kompas, 25 Oktober 2002
Posting Komentar