Meskipun Kota Jakarta dan Istana WAPRES tergenang akibat hujan di musim kemarau (Kompas 17 Juli 2005), namun justru masyarakat di berbagai daerah di Indonesia relatif diuntungkan dengan adanya hujan salah mongso yang masuk sampai akhir bulan Juli. Tahun 2005 ini dalam istilah hidrologi sering disebut dengan tahun basah, tahun dimana jumlah hari hujan dan intensitas hujan mencapai maksimal.
Namun masyarakat dan pemerintah tidak boleh lupa bahwa kejadian ini tidak akan berlangsung terus-menerus. Kekeringan pada musim kemarau berikutnya akan kembali menimpa kita, demikian juga banjir di musim hujan. Banjir dan kekeringan dapat diprediksikan akan terus berlanjut, karena kerusakan sebagian besar Daerah Aliran Sungai di Indonesia ini sudah sangat serius. Demikian juga masalah kekurangan air bersih akan menjadi semakin serius karena kertersediaan air tanah dan permukaan semakin berkurang.
Metode yang akan ditawarkan dalam tulisan ini, untuk dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas termasuk masalah air genangan di kota-kota akibat hujan salah mongso adalah metode memanen hujan (rain water harvesting). Istilah memanen hujan sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian di daerah arid dan semi arid. Namun upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam agenda entvironmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air di musim hujan dan kemarau (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia serta penanggulangan banjir dan kekeringan. Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan sehingga dapat untuk kebutuhan air bersih atau dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau dapat ditanggulangi.
Perkembangan terakhir di negera maju yang dapat dilihat di International Exibition on Water and Wastewater di Munich, Jerman, 24 – 29 April 2005 yang lalu, justru mulai ada tren besar-besaran untuk membuat kolam tando air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil, untuk menyiram tanaman, mengglotor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode memanen hujan yang telah berkembang dan beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun memanen air hujan untuk mengisi air tanah.
1. Metode memanen hujan dengan kolam atau bak tando air rumah tangga
Kolam tando air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai cadangan air bersih. Misal kolam tando harian komunal di Gunung Kidul, DIY (kolam PAH = kolam Pengumpul Air Hujan) yang dibuat ditengah-tengah masyarakat, sehingga setiap orang dapat menggunakannya. Atau secara individu membuat kolam tando di bawah rumah atau di bawah teras, dengan hitungan volume yang mencukupi untuk keperluan air minum dan mandi atau keperluan lainnya, misal untuk mengepel, mencuci kendaraan, menggelontor WC dll. Kolam tando ini juga bisa di bangun dengan ketinggian cukup sehingga pengalirannya dapat menggunakan tenaga grafitasi. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandu dengan pola tampung vertikal berbentuk selinder dengan diameter 1-2 m disesuaikan dengan desain rumah yang ada. Hal ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tando ini. Metode ini perlu segera dikembangkan dan dimasyarakatkan secara luas.
2. Metode memanen hujan dengan kolam dan sumur resapan
Metode memanen hujan ini sudah dipraktekan secara tradisionel oleh nenek moyang bangsa Indonesia; setiap rumah tangga dulu mempunya kolam-kolam dan jogangan sekaligus untuk memelihara ikan, tempat sampah organik atau merendam kayu. Metode kolam resapan atau ini dalam skala besar sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan urug atau pasir (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk hasil galiannya dipakai sebagai bahan urug. Bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air sekaligus dikembangkan untuk rekreasi. Cara ini banyak dipraktekkan di negara-negara maju, sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau-danau buatan. Disamping itu konstruksi kolam resapan dapat dibangun di areal pemukiman, dimana limpasan air hujan suatu kawasan pemukiman ditampung di suatu kolam untuk diresapkan atau dapat digunakan untuk kebutuhan air irigasi. Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat, dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olah raga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.
3. Metode memanen hujan dengan tanggul pekarangan
3. Metode memanen hujan dengan tanggul pekarangan
Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekarangan dengan membuat tanggul rendah 20 – 30 cm dari susunan batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka. Konstruksi ini ternyata berfungsi juga sebagai pola memanen hujan, karena limpasan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan tidak langsung mengalir ke sungai. Tradisi ini perlu dikembbangkan dan didukung secara nyata oleh pemerintah.
4. Metode Memanen hujan dengan revitalisasi danau, telaga dan situ
Kondisi telaga, danau dan situ diberbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya tampungnya drastis berkurang karena sedimentasi, jumlahnya drastis berkurang karena banyak yang diurug dan dijarah dijadikan areal pemukiman. Metode rain water haversting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen penyusun telaga, situ dan danau yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung dan merespakan air hujan hingga dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah.
5. Metode memanen hujan dengan modifikasi landsekap
Modifikasi landsekap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberpa negara maju, misal di Kanada, Jerman dan Jepang. Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan dengan cekungan-cekungan diberbagai tempat (modifikasi landsekap), sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut. Dengan cara modifikasi landsekap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan. Di Indonesia metode ini belum berkembang sama sekali, sehingga mendesak untuk dilakukan studi dan pilot project secara intensif.
Metode memanen hujan dengan mengembangkan daerah perlindungan air tanah
Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga deversifikasi vegetasinya dan tidak boleh dibangun konstruksi apapun di atas areal tersebut . Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai kepasitas peresepan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.
8. Metode memanen hujan dengan memempertahankan hutan
Hutan dapat dijadikan sebagai komponen pemanen air dengan cara mempertahankan kelestarian hutan tersebut. Penelitian terakhir di hutan Amazon, Amerika Latin menyebutkan bahwa sebenarnya hutan dapat mendaur ulang hujan hingga 75 % dan 25% sisanya mengalir kehilir dan meresap kedalam tanah. Mekanisme daur ulang hujan tersebut dimulai dengan evapotranspirasi, pembentukan awan di wilayah hutan dan awan ini jatuh kembali berupa hujan, demikian seterusnya. Daur ulang ini adalah mekanisme fungsi hutan dalam memanen hujan. Dengan 75% air hujan tersirkulasi di wilayah hutan, maka frekuensi hujan di wilayah tersebut relatif tinggi dan teratur serta musim hujannya realtif panjang. Hujan dengan frekuansi tinggi ini tidak akan menyebabkan banjir karena 75 % menguap dan hanya 25% mengalir kehilir. Kekeringan juga tidak akan terjadi, karena pasokan air 25 % ke hilir tersebut didapatkan secara kontinyu hampir sepanjang tahun. Melihat fungsi hutan komponen daur ulang air hujan tersebut, maka kedepan hutan harus dipandang sebagai modal tetap atau aktiva tetap, bukan sebagai modal bergerak. Perlu disadari bahwa harga kayu yang dihasilkan dari merambah hutan tidak lebih dari 7% jika dibandingkan dengan harga fungsi hutan secara integral yaitu hutan sebagai penyimpan air, pengendali banjir, pengendali kekeringan, pengendali longsor, stabilisator temperatur, konservasi ekosistem mikro dan makro serta pemasok oksigin.
Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih diterlantarkan begitu saja. Sementara kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan setiap tahun mengancam. Air hujan dengan kualitas relatif tinggi yang turun 5 sampai 6 bulan dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat mulai sekarang ini adalah mengembangkan metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin untuk pemenuhan kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.
Dr. –Ing. Ir. Agus Maryono
Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Ketua Magister Sistem Teknik Konsentrasi Mikrohidro, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. HP: 0811254254
Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Ketua Magister Sistem Teknik Konsentrasi Mikrohidro, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. HP: 0811254254
Posting Komentar